Berbeda dengan hari sebelumnya yang meriah, hari ini bisa dibilang hari paling rohani. Gimana nggak, hari dimulai dengan misa jam 07.30 di venue utama. Pagi itu rasanya nggak rela harus bangun. Ngantuknya pol! Mana udara dingin pula, makin bikin mager. Untung semalem bela-belain mandi, jadi nggak perlu mandi lagi deh. Upss, ketauan.. hehe. Setelah beberes, gue sarapan nasi kuning yang sudah disiapkan dalam kotak plastik.
Amphitheatre Emmanuel Youth Center, Lotta merupakan venue utama IYD 2016. Dari Seminari Pineleng, kami menuju ke sana dengan berjalan kaki. Jaraknya lumayan sih jalan sekitar 10 - 15 menit, namun butuh perjuangan ekstra karena medannya naik turun jadi cukup menguras energi. Sesampainya di sana, sudah ada rombongan lain yang mengisi tempat. Amphitheatre yang dibangun untuk mendukung kegiatan IYD ini baru saja jadi, bahkan saat kami gunakan untuk misa pagi itu cat-nya masih belum kering. Inspirasi arsitektur dari bangunan ini yaitu bejana air dari kisah Kitab Suci tentang pernikahan di Kana.
Selesai misa, acara dilanjutkan dengan talkshow yang disebut dengan Ngopi (Ngobrol Pintar). Ngopi terdiri dari banyak banget topik yang dibahas dengan lokasi yang berbeda-beda. Dari sekian banyak topik, seluruh peserta dibagi ke dalam beberapa kelompok sesuai nama yang tertulis pada name tag yang dibagikan sehingga pada akhirnya setiap orang akan mendapat 2 topik. Nama kelompoknya lucu-lucu, diambil dari nama makanan khas Manado.
Gue mendapat topik 'OMK dan Budaya dalam Era Globalisasi' di aula depan kapel Seminari Pineleng. Untung deket, sama aja balik ke penginapan ini mah. Narasumbernya ada Mgr. Silvester San (Uskup Denpasar), ibu Jelly Walanwendow yang sangat menginspirasi, dan satu orang yang awalnya dirahasiakan.
Eh, ada koreografer theme song IYD tahun ini |
Setelah narasumber lain membawakan presentasi, yang bikin penasaran datang juga. Ternyata kelompok Ngopi kita kedatangan penyanyi Citra Scholastika. Langsung dong pada heboh. Orangnya humble banget dan kisahnya menginspirasi. Memenuhi permintaan peserta, di akhir Citra bersedia menyanyi untuk kita semua.
Akhirnya tibalah waktu makan siang, rasanya udah laper berat. Namun harus tetap bersabar karena makanan disajikan secara prasmanan. Walau dibagi ke 2 tempat, tetep aja ngantri karena orangnya banyak banget.
Setelah makan, gue harus berkumpul bersama teman-teman performer regio Jawa untuk blocking persiapan penampilan besok di venue utama. Sebelumnya, kita sudah latihan bersama di bulan September di Wisma Salam, tepat di perbatasan kota Jogja dan Magelang. Kali ini, personil sudah lengkap dengan tambahan teman-teman dari Malang yang waktu itu belum sempat bertemu. Walau senang ketemu mereka, di lain sisi gue ngantuk maksimal, mata udah pedes banget, ditambah jalan jauh, makan siang tadi langsung nggak berasa.
Gue tadinya berpikir masih ada waktu istirahat setelah selesai latihan berhubung waktu luang cukup panjang sampai acara berikutnya. Eh, nggak kerasa udah sore jadi mau nggak mau balik ke seminari untuk Jalan Salib. Sempet ada niat untuk skip aja karena bolak-balik seminari - venue utama rasanya udah kayak Jalan Salib tersendiri buat gue (lebay). Begitu nyampe, ternyata udah sampe pemberhetian ke-5. Di dalam kapel udah penuh, jadi nyari tempat yang kosong di luar. Setelah mendapat tempat pewe, sesekali gue memejamkan mata karena udah nggak tahan banget. Ampuni aku ya, Tuhan. Hehehe, namanya juga manusia.
Otw balik ke seminari, mencoba lewat jalan lain nembus dari Skolastikat MSC dan ada ornamen ini, jadilah foto-foto |
Suasana Jalan Salib |
Habis Jalan Salib, gue masuk ke kapel dan tiba-tiba mata langsung berbinar-binar. Wow, kapelnya bagus banget! Ini nggak kayak kapel. Tadi siang pas acara Ngopi, walau lama banget ada di aula, gue nggak begitu memperhatikan karena ditutup dan lampunya juga dimatikan. Saking kagumnya sama kapel ini, gue bersedia menunggu sampai sepi supaya bisa puas foto-foto.
Setelah Jalan Salib, lanjut Taize di venue utama. Sambil menunggu semua peserta datang, biar nggak sepi, MC memanggil salah satu peserta untuk sharing. Lah, doi berakhir curcol lama banget sampe gue udah nggak konsen. Taize pun dimulai. Seumur-umur, ini pertama kalinya gue melakukan doa Taize dan baru ngerasain kalo Taize itu doa yang diiringi lagu dan sifatnya lebih ke refleksi gitu. Awalnya gue berusaha untuk doa dalam keheningan, sampai akhirnya lagu yang sama diulang-ulang terus hingga gue udah mati gaya dan sempet ngilang (ketiduran) beberapa kali. Mana kontingen Jakarta duduk di tempat yang rada atas, bahaya gue bisa kejlungup.
Tersadar kita semua belum makan lagi dari makan siang dan perut udah keroncongan. Melihat panitia mulai membagikan makanan, gue jadi agak semangat. Saat dibagikan, kok cuma dikasih singkong polos? Hmm, mungkin abis ini dikasih lauk kali ya pikir gue. Nyatanya nggak, ternyata malam itu kita makan santapan sederhana. Gue speechless dan udah nggak mampu untuk berpikir lagi. Untung salah satu temen kita, Meisy, bawa Bon Cabe. Lumayan singkongnya jadi lebih berasa.
Menu makan malam: singkong plus Bon Cabe |
Rangkaian acara itu ditutup dengan pengakuan dosa dan konsultasi. Tak perlu berlama-lama lagi, karena gue udah pengen cepet-cepet tidur, gue langsung mereflesikan dosa-dosa gue dan mencari romo. Untuk melayani umat sebanyak itu, pasukan romo pun dikerahkan. Gue menghindari area bawah karena selain terang, jarak antar romo satu dengan lainnya berdekatan, jadi bisa kedengeran sama orang lain. Gue memilih untuk ngaku dosa di luar karena gelap dan lebih sepi, ditambah romonya juga nggak gue kenal jadi bisa lebih bebas. Eh, ternyata nggak cuma ngaku dosa, gue malah melanturkan beberapa pertanyaan yang mengganjal. Setelah melakukan penitensi, akhirnya gue bisa kembali ke seminari dan merecharge tenaga untuk esok hari.
Suasana pengakuan dosa |
Walau memang hari ini paling rohani di antara lainnya dan diadakan sesi-sesi khusus, tapi gue justru merasakan kerohanian itu lewat berbagai peristiwa yang gue alami hari ini. Okeh, ini tiba-tiba mendadak religius. Di balik keluhan karena fisik gue yang lelah, gue melihat kebesaran dan mencari kekuatan dari-Nya. Tuhan sepertinya punya cara tersendiri untuk lebih mendekatkan diri dengan umatnya.
0 comments