Setelah berada 5 hari di Manado, nggak kerasa tiba-tiba hari ini udah di penghujung rangkaian acara IYD 2016. Walau ngantuk, tapi pagi itu rasanya semangat banget. Sebelum memulai acara, kita semua 'pemanasan' di venue utama dengan joget Gemu Famire, lagu dari Nusa Tenggara Timur yang lagi hits.
Acara 'Ngopi' kemarin ternyata masih berlanjut, namun hari ini nggak dibagi ke dalam kelompok-kelompok. Pembicara kali ini juga makin oke-oke. Di antaranya Mgr. Joseph Suwatan selaku Uskup Manado, Bapak Agus Sriyono (Dubes RI) untuk Vatikan, Daniel Mananta yang bikin cewek-cewek histeris, dan Wregas Bhanuteja (sutradara film Prenjak yang memenangkan kategori film pendek di festival film Cannes). Dalam sesi ini, yang paling berkesan buat gue justru bapa Uskup Suwatan yang ngomongnya super blak-blakan dan ngena banget.
Kontingen Jakarta tiba-tiba meng-orange-kan venue berlindung dari tampias |
Menu makan siang |
Setelah makan siang, saatnya mengunjungi stand dari masing-masing kontingen. Masing-masing stand unik dengan ciri khas daerahnya masing-masing. Sayangnya, tiba-tiba hujan jadi agak kurang nyaman liat-liatnya.
Stand Kontingen Keuskupan Agung Jakarta |
Ada untungnya hujan, kita jadi bisa kompakan pake jas hujan super ngejreng ini dan narik pengunjung ke stand kita |
Nggak lama kemudian, gue dan teman-teman regio Jawa yang akan tampil malam ini udah harus bersiap-siap, terutama yang perempuan karena dandannya rempong. Awalnya, setelah selesai dandan, kita mau ikut misa penutup. Eh, nggak taunya dandannya seribet itu sampe harus skip misa. Bahkan kita baru selesai beberapa saat sebelum kita tampil.
Gue salut banget sama Romo Adi dari Malang selaku koreografer tarian yang terinspirasi dari doa 'Aku Percaya' ini. Jiwa seninya tinggi banget. Kalo nggak tau, nggak bakal nyangka beliau seorang romo. Selain jadi koreografer, beliau juga ikut nari, ngurus kostum, perintilan, dan dandanin kita semua. Beliau yang pakein kain cewek-cewek dan nyasak rambut suster yang nari juga. Romo juga memastikan penampilan kita maksimal. Untuk konde beberapa penari wanita termasuk gue, harus pakai pandan yang udah dipadatkan bentuknya jadi semacam donat besar dan pakai melati segar juga. Karena romo maunya semuanya segar, jadi bahan-bahan itu benar-benar baru dikirim hari itu dari Malang dan tiba sore harinya. Wow.
Romo Yogo dari Jakarta yang dipaksa ikutan nari lagi 'dikerjain' |
Romo Adi lagi bikin rambutnya suster |
Suasana belakang panggung |
Seusai tampil |
Penari regio Jawa perwakilan Jakarta: Aldo, Rayi, gue, dan Romo Yogo Source: Denny Leewardus |
Sama kontingen Bali |
Suatu pengalaman yang luar biasa buat gue bisa menari di malam penutupan IYD ini. Banyak hal yang bikin gue senang dan bersyukur. Sekali-kali bisa menyalurkan minat tari gue ini di acara gereja. Selain itu, gue bisa dapet temen-temen baru, khususnya dari pulau Jawa. Sebagai orang Jawa yang sampai tahun 2010 rutin pulang ke kampung bokap di Boyolali, sewaktu latihan pertama bareng mereka bulan September lalu di Wisma Salam, rasanya nyambung dan kayak pulang kampung lagi. Bener-bener bahagia. Malam itu, gue juga berasa jadi manten Jawa dengan dandanan dan pakaian kayak gitu, hehehe. Di sisi lain, ada nggak enaknya juga jadi performer karena jadi nggak bisa nikmatin acara. Padahal, pengen juga liat penampilan dari regio lain yang pasti bagus juga dan nonjolin kebudayaan daerah.
Setelah berganti baju dan beberes, gue kembali ke rombongan. Akhirnya rangkaian acara Indonesian Youth Day 2016 resmi ditutup. Kita merayakannya dengan joget Gemu Famire lagi, lagu ini benar-benar nggak bikin bosen dan menyatukan kita semua. Nggak rela semua ini harus berakhir, akhirnya semua lagu yang bikin joget dari berbagai daerah di Indonesia dipasang. Seru banget kita berdansa dan teman-teman dari Timur ngajarin berbagai gerakan untuk diikuti.
Walau acara IYD selesai, namun petualangan gue di Manado masih berlanjut. Silahkan ikuti ceritanya di postingan berikutnya.