Biar nggak bablas tidurnya, gue pasang alarm jam 8 karena mau ibadat 9. Tapi jam 7 pagi si ibu udah ngetok pintu dan emang gue udah rada kebangun sendiri juga, ya udah deh mau nggak mau bangun. Sama si ibu gue diminta sarapan dulu. Di ruang belakang, gue udah disiapin pisang goreng sama kopi. Di sana ada bu Agustin, bu Nori, dan si nenek yang semalem belum sempat kenalan. Mengobrol-ngobrolah kita dan di sini gue menemukan fakta-fakta tak terduga tentang keluarga ini.
Awalnya, gue ditanya umur sama bu Nori, gue jawab 22. Dia bilang, "Berarti seumuran ya sama Recki." Muka gue kalem, tapi dalam hati 'Hah, apa?!' Tunggu, nggak salah nih. Terus gue kepo sama umurnya bu Agustin, ternyata dia lebih tua 2 tahun dari pak Recki. Gue makin bingung. Iven, anak mereka, udah umur 3 tahun pula. Gue tanya aja semuanya sekalian. Bu Nori, ibunya pak Recki, berumur 48 tahun. Dan, si nenek ternyata ibunya bu Nori yang bernama nenek Lerci, berumur 73 tahun. Okeh, jadi gue tinggal di rumah keluarga yang terdiri dari 4 generasi, di mana kepala keluarganya seumuran gue, hyakk.
Sarapan hari itu: pisang goreng dan kopi |
Setelah sarapan dan ngobrol-ngobrol, gue mandi dan kita menuju ke gereja untuk ibadat. Ibadat dipimpin Frater Agung. Di akhir ibadat, para peserta live-in dibagikan goodie bag oleh Om Frans yang berisi kaos, alat tulis, buku-buku doa dan panduan acara.
Bersama warga stasi Tarabitan Paroki Kokoleh |
Bersama Pras, Nella, Om Frans, Mas Tete, dan Fr. Agung |
Baru aja makan, udah makan lagi. Di rumah udah disediain nasi dan ikan sebagai lauk wajib plus dabu-dabu yang endeus. Anggap saja asupan energi lah karena abis ini kita akan ke laut rame-rame, yeay!
Kita berkumpul di rumah Mak Ros, orang tuanya Pras. Dari situ kita jalan ke bawah menuju pangkalan perahu. Gue jalan sambil gandengan sama Mita, anaknya Mak Ros. Dari awal dateng, anaknya emang udah keliatan ramah banget dan selalu senyum. Sepanjang perjalanan kita ngobrol-ngobrol deh.
Petualangan laut pun dimulai! Sejujurnya, gue bukan tipe anak alam. Tapi gue terbuka untuk nyoba hal baru dan hari itu gue mendapatkan pengalaman yang berbeda. Pemandangan adem dan seger banget liat hijaunya pohon dan birunya langit dan laut. Begitu naik perahu ke tengah, angin semriwing, beuh.. Bebas tanpa beban banget rasanya. Seru banget bisa liat dan megang berbagai hewan laut. Biar foto-foto ini yang bercerita sendiri ya.
Ular laut |
Bulu babi |
Sok-sok an dapet ikan banyak, padahal bukan gue juga yang mancing. Btw, ini berat banget. |
Salah satu tujuan utama kita ke laut adalah emang mau makan ikan colo-colo. Colo-colo ini maksudnya dicelup. Kita akan mancing ikan yang langsung dimasak dan dimakan di sana. Bayangan gue tadinya bakal makan di pinggir pantai gitu lah ya. Nggak taunya kita bener-bener makan di tengah laut!
Kita cari tempat yang nggak berair biar bisa ditaruh gonofu (kelapa kering) yang berfungsi sebagai arang buat bakar ikannya. Kesibukan pun dimulai. Pak Recki, bapak gue, dengan gesitnya motong gonofu jadi potongan yang lebih kecil. Cewek-cewek sibuk men-colo-colo ikannya. Ya, bumbu ikan ini air laut nya sendiri.
Gonofu |
Bocah-bocah pada main |
Colo-colo |
Di tengah bakar ikan, lama-lama air semakin naik. Kerempongan terjadi dan kita sibuk cari alas biar ikan-ikannya nggak kerendem, sampai akhirnya kita harus pindah ke perahu.
Nggak pernah kebayang makan literally di tengah laut gini. Ikannya freshly caught and cooked, ditambah dabu-dabu yang dibawa dari rumah, ditemani angin sepoi-sepoi. Sedep, mantep, luar biasa lah pokoknya!
Cuaca mulai agak mendung dan kita memutuskan untuk balik. Sesampainya di pangkalan perahu, kita lanjut bakar ikan, tapi dabu-dabunya hanyut di laut karena plastiknya robek, ya sudahlah.
Setelah berpetualang di laut, berhubung udah sore, kita istirahat sejenak dan langsung mandi. Kita santai sore sambil ngeliatin para ibu latian persiapan penampilan buat malam keakraban besoknya. Mereka akan menampilkan tarian Ampat Wayer.
Lucu banget pemandangan sore itu. Ibu yang pake kaos putih di depan (lupa namanya siapa) heboh banget mimpin teman-temannya. Gue serasa liat diri sendiri kalo udah rempong dengan urusan pertarian, haha.
Pak Recki jadi petugas sound system |
Sama Mita, anaknya Mak Ros |
Malam harinya, kami berkumpul di rumah Om Albert untuk doa rosario dan ramah tamah. Sesuai kesepakatan, kali ini peserta live-in yang bertugas dan gue terpilih untuk memimpin doa rosario. Abis itu kita ngobrol-ngobrol santai sambil makan biapong (semacam bakpau) yang ada pilihan isi kelapa dan kacang dan minum teh.
Sama Gina, cucunya Om Frans yang murah senyum dan udah pinter gaya |
Karena hari ini malam terakhir tinggal di Tarabitan, setelah dari Om Albert kita main ke rumah-rumah para orang tua live-in. Karena letaknya paling dekat, kita main ke rumah tinggal gue, kediaman pak Recki. Gue nggak tau mereka masaknya kapan, tiba-tiba kita disuguhi nasi ikan dabu-dabu. Padahal kita semua udah agak kenyang, tapi karena nggak enak, ya dimakan aja.
Dari situ kita menuju ke rumah bu Rafael, orang tuanya Nella. Mending di sini cuma disediain kembang roda. Lalu akhirnya kita ke rumah terakhir, rumah Om Frans, orang tuanya Mas Tete. Tak disangka, kita disuguhin makanan lagi, makanan berat pula! Walaupun kekenyangan, tapi gue masih bisa menikmati makanan yang disebut Nasi Bungkus itu. Nasi Bungkus di sini bentuknya dipadetin dan dibungkus daun jadi kayak lemper gitu. Untuk lauk, disediain ikan, bunga pepaya, dan pastinya sambal. Bunga pepaya nya seger banget.
Kita menghabiskan waktu paling lama di sini. Berhubung malam terakhir, kita memaksimalkan waktu yang ada untuk sharing. Pak Frans cerita tentang keluarganya, dilanjutkan kesan pesan kita selama di sini. Sempat ada suasana haru, gue pun sampe nangis karena dalam waktu yang singkat udah kerasa banget kebersamaan, keakraban, dan kekeluargaannya. Dari sharing kita jadi lebih menyadari banyak hal dan kebahagiaan bisa diperoleh dari hal-hal sederhana.
Peseta live-in Tarabitan di kediaman Om Frans |